Museum Manusia Purba Sangiran

Geografi Luar Biasa dan Biasa Di Luar more »

Memperingati Hari Bumi

Pelestarian Ekosistem, Pelepasan Seribu Bibit Ikan di Rowo Jombor, Jimbung. more »

Negeri Di Atas Awan ( Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo )

Masa Pengakraban dan Studi Lingkungan Mahasiswa Baru 2012 more »

Masa Pengakraban dan Studi Wisata 2013

Pantai Klayar-Pacitan, bentang alammu sungguh sangat mempesona. more »

Belajar Mengolah Sampah dari Jepang

Diposting oleh Unknown

Rahasia Sukses Pengolahan Sampah di Jepang

Sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa tradisi mengolah sampah di Jepang, dengan memilah sampah menurut jenisnya, adalah budaya yang sudah lama dilakukan (baca: Mengolah Sampah di Jepang). Namun ternyata, menurut penjelasan kawan Jepang dan juga petugas di tempat pembuangan sampah yang saya temui, cara membuang dan mengolah sampah seperti saat ini, belum lama dilakukan di Jepang. Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah. Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.

 Sampah Menurut Jenisnya di Jepang / photo Junanto

Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Contoh terbesar ketidakpedulian itu adalah terjadinya kasus pencemaran Minamata, saat pabrik Chisso Minamata membuang limbah merkuri ke lautan dan mencemari ikan serta hasil laut lainnya. Para nelayan dan warga sekitar yang makan ikan dari laut sekitar Minamata menjadi korban.  Di tahun 2001, tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat tragedi tersebut.

Di tahun 60 dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan, keracunan, menjadi bagian dari tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo sendiri, limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan warga Tokyo.

Barulah pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang. Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya. Gerakan mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle.  Mengurangi pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur Ulang.

Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu, urusan lingkungan belum menjadi prioritas.Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang

Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi Daur Ulang atau Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun 1997, Undang-undang Kemasan Daur Ulang atau “Containers and Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen.

Rahasia Sukses Jepang

Dari beberapa hal tersebut, setidaknya terdapat tiga rahasia sukses Jepang dalam penanganan sampah rumah tangga. Pertama, tingginya prioritas masyarakat pada program daur ulang. Hampir semua orang Jepang paham mengenai pentingnya pengelolaan sampah daur ulang. Untuk membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti “chonaikai” melakukan aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan masyarakat. Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke perumahan untuk memonitor pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga tentang cara penanganan sampah.

Kedua, munculnya  tekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila kita tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu menjadi kunci efektivitas penanganan sampah di Jepang. Saya pernah melihat orang Jepang yang sedang mabuk di kereta sambil memegang botol bir. Saya mengikuti saat ia keluar dari kereta. Dia celingak celinguk mencari tempat sampah. Menariknya, dalam keadaan mabuk, ia masih membuang sampah, bukan hanya di tempatnya, namun bisa memilih tempat sampah daur ulang khusus botol dan kaleng. Dari kejadian itu saya berpikir bahwa kebiasaan membuang sampah, selain juga karena dibangun rasa malu, juga telah masuk ke alam bawah sadar mereka.

Ketiga, program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini. Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang mampu tertanam di alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi “habit”.
Awalnya dulu, resistensi sempat muncul dari beberapa kalangan mengenai perubahan cara membuang sampah ini. Banyak warga, khususnya orang-orang tua, yang memprotes cara baru penanganan sampah, karena dianggap merepotkan. Namun dengan penjelasan dan informasi yang terus menerus mengenai manfaat dari pembuangan sampah, resistensi itu berkurang dengan sendirinya.

Tempat Sampah di salah satu Mall kota Tokyo / photo Junanto

Bisakah kita Meniru Jepang?

Melihat proses pembentukan “habit” pengolahan sampah di Jepang tersebut, saya yakin kalau kita di Indonesia bisa meniru Jepang. Kesadaran pada sampah dan lingkungan hidup di Jepang baru tumbuh dalam beberapa puluh tahun terakhir. Artinya hal tersebut bukan terjadi by default pada diri masyarakat Jepang, namun dilakukan by design dengan membentuk habit atau kebiasaan melalu edukasi. Oleh karena itu, upaya membangun kesadaran masyarakat melalui berbagai kampanye lingkungan hidup oleh komunitas-komunitas peduli lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Sahabat Kompasianer dari Jogjakarta, Mas Daniel Suharta dan kawan-kawan, perlu banyak dilakukan di setiap kota dan tempat.

Apa yang dilakukan mas Daniel dengan membentuk berbagai program kampanye peduli lingkungan, persis seperti yang dilakukan oleh chonaikai di Jepang, 30 tahun lalu. Meski saat itu pemerintah Jepang belum mendukung dan bergerak, mereka tidak putus asa.  Selama 20 tahun, komunitas tersebut terus konsisten meraih simpati dan berkembang pesat hingga akhirnya malah dapat memberi tekanan sosial pada pihak pemerintah. Langkah lainnya adalah dengan membuat program edukasi bagi setiap elemen masyarakat. Berbagai brosur dan informasi dibuat untuk anak-anak sekolah sehingga kebiasaan membuang sampah terbentuk sejak kecil. Di sisi lain para orang tua juga harus memberi contoh. Hal ini sangat penting, karena anak-anak meniru apa yang dilakukan orang tua.

Dengan berbagai hal tersebut, pada akhirnya nanti pemerintah mau tak mau akan mendukung gerakan peduli lingkungan. Dan bila demikian halnya, Undang-undang dibuat bukan untuk mengatur, namun hanya meng-amin-i saja realita yang sudah terjadi di masyarakat. Tak heran, makin maju suatu negara, makin sedikit peraturannya. Di Jepang, saya jarang sekali melihat tulisan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya” atau “Dilarang Buang Sampah”. Karena tanpa tulisan itu-pun, masyarakat sudah membuang sampah di tempatnya.
Salam dari Tokyo.
 
oleh : Junanto Herdiawan                                                                    editor :Zaida Chandra Praditya 

ps. tulisan juga mengutip bahan dari berbagai sumber dan penelitian


 


more »

Geografi Mbolang

Diposting oleh Unknown
Petualangan Himpunan Mahasiswa Geografi Embung Batara sriten dan Pantai drini

(memeluk sumber kehidupan)

Belajar dari teguhnya  gunung dan lembutnya samudera


Pada awal kepengurusan Himpunan Mahasiswa Pendidikkan Geografi,Mahasiswa Geografi mengadakkan kenjungan ke embung batara srinten dan pantai drini kegiatan kali ini bertujuan untuk memupuk rasa kebersamaan dan kekompakkan sebagai awal proker 2015 

Embung sriten terletak di Desa Pilangrejo Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta,dengan  Koordinat GPS  S7°49'56" E110°37'54"  Embung  ini merupakkan yang tertinggi di dunia dengan tinggi 896mdpl dari 

Perjalanan menuju embung sriten sangat luar biasa menantang dengan trek yang menanjak dengan kondisi jalan yang belum sepenuhnya jadi dibutuhkan keberanian dan keyakinan untuk sanpai di embung ini.perjalanan yang menantang dan panjang akan terbayar lunas setelah menginjakkan kaki di embung ini dengan pemandangan  pecah dan yang memanjakkan mata dan suasana pegununggan yang menentramkan hati          

(Satukan tekat untuk geografi yang lebih baik)
 Setelah dari 896mdpl petualanagan panjang mahasiswa geografi sampai  ke titik 0mdpl yaitu ke pantai drini Pantai Drini menjadi salah satu pantai istimewa di pesisir Gunungkidul karena sebuah pulau kecil di tengahnya, membagi pantai menjadi dua bagian. Konon di pulau tersebut banyak ditumbuhi santigi (Pemphis acidula), atau masyarakat di sini biasa menyebutnya drini. Itulah kenapa pantai dan pulau ini diberi nama drini.aroma pantai ini menambah romantisme kebersamaan kami keluarga besar HMP geografi 


(Senja di pantai drini0

Demikian sedikit  perjalanan kami mahasiswa geografi yang berpetualang dari puncak bukit hingga ke pantai tiada hal yang lebih indah dan membahagiakan selain kebersamaan bersama keluarga besar HMP Geografi Unwidha.

Salam hangat teks oleh Zaida Chandra Praditya

more »

BNPB: Pulau Jawa Rentan Bencana pada Januari 2015

Diposting oleh Unknown
 Diperkirakan ada sejumlah daerah yang yang paling rawan.
 Presiden Joko Widodo mendatangi lokasi tanah longsor di Karangkobar, Banjarnegara, Minggu (14/12/2014). Jokowi meminta kepada petugas dan relawan untuk mengutamakan pencarian korban yang diduga masih tertimbun longsor. (Heru Sri Kumoro/Kompas)

 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksikan bulan Januari sebagai puncak bencana. Diperkirakan ada sejumlah daerah yang yang paling rawan, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Demikian dikatakan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannnya Minggu (21/12). Menurut Sutopo itu sesuai pola kejadian bencana di Indonesia tiap tahunnya.

"Sebab lebih dari 90 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan lahan. Bencana hidrometeorologi berkorelasi positif dengan pola curah hujan," kata Sutopo.
Sutopo menjelaskan alasannya kenapa Januari adalah puncak bencana, sebab sebagian besar wilayah Indonesia puncak hujan terjadi pada Januari.

Ia menambahkan selama Desember hingga Maret hujan akan tinggi. Sehingga pada bulan ini banyak banjir, longsor dan puting beliung. Di Indonesia rata-rata kejadian bencana 1.295 kejadian per tahunnya.
"Tiga daerah paling banyak bencana adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur karena memang penduduknya banyak di daerah ini," ujarnya.

Bencana hidrometeorologi, terang dia, tidak terjadi tiba-tiba. Tetapi akibat akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor, seperti sosial, ekonomi, degradasi lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, tata ruang, dan lainnya.

"Misal, banjir yang saat ini menggenangi daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan lainnya di Bandung Selatan. Banjir serupa pernah terjadi sejak tahun 1931 karena wilayah tersebut adalah Cekungan Bandung yang seperti mangkok di DAS Citarum," ujarnya.

Sutopo menambahkan banjir serupa persis terjadi pada tanggal 19 Februari 2014 di tempat tersebut. Hal yang sama juga terjadi di banjir Bojonegoro, Tuban, Gresik, Cilacap dan sebagainya yang saat ini banjir.
Sutopo menilai bertambahnya penduduk yang akhirnya tinggal di daerah rawan bencana merupakan konsekuensi dari lemahnya implementasi tata ruang dan penegakan hukum.

Kawasan industri dibangun di daerah-daerah rawan bencana. Sementara masyarakat dibiarkan tinggal di daerah rawan banjir dan longsor tanpa ada proteksi yang memadai.

"Banjir dan longsor sebenarnya adalah bencana yang dapat diminimumkan risikonya. Sebab kita sudah tahu kapan, dimana dan apa yang harus dilakukan. Kunci utama itu semua adalah mitigasi struktural dan nonstruktural komprehensif, penataan ruang dan penegakan hukum," imbuhnya.

Sumber: Tribun News
Editor:Zaida Chandra Praditya
more »

Makrab 2014 " Geografi Luar Biasa & Biasa Diluar "

Diposting oleh Unknown
Tawangmanggu 11Oktober 2014


Dalam Rangka Malam Pengakraban Mahasiswa Baru Pendidikan Geografi tahun 2014 ini, Dari Himpunan Mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Widya Dharma Klaten mengadakan Makrab yang bertujuan untuk melakukan suatu pengakraban kepada semua mahasiswa pendidikan geografi ini, Supaya tercapainya suatu kekompakkan dan kebersamaan dalam diri mahsiswa pendidikan geografi tersebut.
Pada Makrab 2014 ini, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Geografi ini memperkenalkan profil dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang menarik serta Sosialisasi dari BEM Universitas Widya Dharma Klaten, BEM FKIP Universitas Widya Dharma Klaten dan IMAHAGI Region III Jawa Tengah & DIY . Peserta Makrab pun terlihat sangat antusias mengikuti Kegiatan Makrab ini . Di akhir sosialisasi, Tak lupa moderator mengajak peserta Makrab untuk bersama-sama memperbaiki lingkungan disekitar dan menjaga keberlangsungan alam yang harus dipegang oleh seorang geografi yaitu Spasial, Ekologi dan regional. 
Selanjutnya acara pun dilanjutkan dengan menghidupkan api unggun, kehangatan dalam kebersamaan dan kekompakan pun semakin terasa saat kobaran api unggun pun semakin besar, canda tawa peserta makrab pun memecahkan suasana malam pengakraban itu kegiatan pun semakin seru dengan diwarnai game sambil bernyanyi menggelilingi api unggun. Udara dingin pun semakin terasa di objek wisata Tawangmangu Kab. Karanganyar.
Di hari selanjutnya, pada acara Makrab Himpunan Mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Widya Dharma Klaten tanggal 11 Oktober 2014. Panitia Makrab 2014 dan peserta makrab melakukan Outbond di Objek Wisata tawangmangu Kab. Karanganyar. Dengan konsep yang sama, panitia Makrab 2014 kembali melakukan pengakraban melalui outbond yang bertujuan untuk menghibur peserta makrab 2014 supaya dalam mengikuti makrab tahun ini tidak merasa jenuh. Kegiatan outbond tersebut ialah Permainan Volly Tanpa Bola, Permainan Perang Air, dan menara Air ternyata dalam kegiatan ini semakin mempererat silaturami antara peserta dan panitia makrab.(Nata De Coco)

more »

Pembukaan Lahan Kelapa Sawit, Orangutan Terancam

Diposting oleh Unknown

Perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama bagi orangutan.

Kepunahan orangutan karena habitatnya dihancurkan untuk perkebunan sawit bukan lagi rahasia. Memang benar bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama bagi orang utan.
Selama ini orangutan menghadapi berbagai kesulitan dalam bertahan hidup. Mulai dari penebangan di habitatnya untuk komersialisasi seperti pembuatan kertas.
Michelle Desilets, executive director di Orangutan Land Trust berpendapat bahwa penebangan hutan untuk kelapa sawit merupakan ancaman terbesar bagi alam liar di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini.
Namun muncul inisiatif bagi perusahaan perkebunan sawit untuk tidak menanam sawit pada lahan yang dibuka melalui proses deforestasi. Harapannya tindakan itu dapat menyelamatkan satwa liar terutama orang utan.
Sebuah kemajuan selama 11 bulan belakangan ini, bahwa lebih dari 12 perusahaan besar, pedagang, dan konsumen minyak sawit berkomitmen. Mereka berjanji hanya akan memproduksi, membeli, atau menjual minyak sawit dari hutan yang bebas dari deforestasi.
Sehingga sebesar 60 persen perdagangan global harus mengikuti kebijakan kelapa saawit yang ramah lingkungan. Sementara menurut Rhett Butler, pendiri Mongabay.com bahwa perlu komitmen kuat bagi perusahaan kelapa sawit untuk tidak lagi membuka lahan untuk perkebunannya—sebutlah nol deforestasi.
Sekitar 85 persen minyak sawit dunia berasal dari perkebunan di Indonesia dan Malaysia. Menurut data dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sejak tahun 1990 hingga 2010 seluas 8,7 hektare hutan di Indonesia, Malaysia, dan Papua dikonversi untuk perkebunan sawit. Luasnya bahkan dua kali dari wilayah New Jersey di Amerika Serikat.

Sebagian besar orangutan akan kelaparan dan mati ketika habitatnya dibuka untuk perkebunan,” ujar Desilets. Akhirnya orangutan akan merambah ke perkebunan yang baru ditanami kelapa sawit dan menghancurkannya. Sehingga tak jarang orangutan dianggap sebagai hama karena menghancurkan tanaman dan membuatnya diburu.

Menangkap dan membunuh orangutan sudah dilarang di Indonesia dan Malaysia. Kenyatannya perburuan terus terjadi. “Serangan terhadap orangutan seringkali brutal,” ujar Desilets. Tim penyelamat sering menemukan orangutan dibantang menggunakan parang, dipukuli hingga mati dengan kayu maupun besi, bahkan dibakar hidup-hidup.  Lebih parahnya lagi, anak-anak orangutanpun diperdagangkan secara ilegal.
Saat ini lebih dari 1.200 orangutan dirawat pada pusat-pusat penyelamatan dan sebagian besar dari mereka merupakan korban dari konversi habitat untuk pembukaan lahan kelapa sawit.
Kini di Kalimantan tersisa 45.000 orangutan saja, sementara di Sumatra lebih parah hanya 6.500 ekor.
Pembukaan lahan untuk kelapa sawit di Kalimantan contohnya, semakin mempermudah orang untuk memburu orangutan. Selain orangutan dianiaya, merekapun menjadi komoditi untuk diperjualbelikan. Sehingga kepunahan sama sekali tidak bisa dihindari.
Ilmuwan dari The Orangutan Land Trust memperkirakan sekitar 3.000 orangutan hilang tiap tahunnya karena konversi habitat dan perburuan. Kini di Kalimantan tersisa 45.000 orangutan saja, sementara di Sumatra lebih parah hanya 6.500 ekor.
Ditambah dengan kebakaran hutan dan gambut yang menimbulkan karbon dioksida membuat orangutan kesulitan bernapas kemudian mati. Sebuah studi tentang emisi gas rumah kaca di Provinsi Riau antara tahun 2000 hingga 2012, bahwa 5,2 juta ton karbon dioksida dihasilkan karena pembakaran lahan gambut.
Komitmen
Perlu komitmen yang tak hanya kuat tapi juga spesifik, termasuk definisi hutan, waktu hingga verivikasi.
Sementara ini sedang dirintis komitmen demi penyelamatan orangutan. “Kami optimis tentnag transparansi, akuntanbilitas, dan penegakan hukum,” papar Rich Zimmerman, executive director Orangutan Outreach. Komitmen juga perlu diperluas. Bukan hanya menjamah perusahaan kelapa sawit tapi juga industri makanan cepat saji.
Komitmen bebas deforestasi merupakan langkah positif, dengan catatan para pelaku terus memegang teguh janjinya. Harapan di masa datang agar lebih banyak perusahaan bergabung untuk melakukan penyelamatan pada alam dan satwa liar, seperti orangutan.
“Komitmen ini harus kuat,” tegas pendiri Mongabay, Butler. Ia juga menambahkan agar LSM bertindak aktif jika mengetahui ada perusahaan melanggar komitmen.
“Kami berharap hubungan antara kepala sawit dengan kepunahan orangutan dapat teratasi,” ujar Desilets.
(Laurel Neme)

more »

Posting Posting

LINK GEOGRAFI