Belajar Mengolah Sampah dari Jepang
Rahasia Sukses Pengolahan Sampah di Jepang
Sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa tradisi mengolah sampah di
Jepang, dengan memilah sampah menurut jenisnya, adalah budaya yang sudah
lama dilakukan (baca: Mengolah Sampah di Jepang). Namun ternyata,
menurut penjelasan kawan Jepang dan juga petugas di tempat pembuangan
sampah yang saya temui, cara membuang dan mengolah sampah seperti saat
ini, belum lama dilakukan di Jepang. Sekitar 20 tahun lalu, orang Jepang belum melakukan pemilahan sampah.
Di tahun 1960 dan 1970-an, orang Jepang bahkan masih rendah
kepeduliannya pada masalah pembuangan dan pengelolaan sampah.
Saat-saat itu, Jepang baru bangkit menjadi negara industri, sehingga
masalah lingkungan hidup tidak terlalu mereka pedulikan. Contoh terbesar
ketidakpedulian itu adalah terjadinya kasus pencemaran Minamata, saat
pabrik Chisso Minamata membuang limbah merkuri ke lautan dan mencemari
ikan serta hasil laut lainnya. Para nelayan dan warga sekitar yang makan
ikan dari laut sekitar Minamata menjadi korban. Di tahun 2001,
tercatat lebih dari 1700 korban meninggal akibat tragedi tersebut.
Di tahun 60 dan 70-an, kasus polusi, pencemaran lingkungan,
keracunan, menjadi bagian dari tumbuhnya industri Jepang. Di kota Tokyo
sendiri, limbah dan sampah rumah tangga saat itu menjadi masalah besar
bagi lingkungan dan mengganggu kehidupan warga Tokyo.
Barulah pada pertengahan 1970-an mulai bangkit gerakan masyarakat
peduli lingkungan atau “chonaikai” di berbagai kota di Jepang.
Masyarakat menggalang kesadaran warga tentang cara membuang sampah, dan
memilah-milah sampah, sehingga memudahkan dalam pengolahannya. Gerakan
mereka menganut tema 3R atau Reduce, Reuse, and Recycle. Mengurangi
pembuangan sampah, Menggunakan Kembali, dan Daur Ulang.
Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan
masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat
berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang
mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu, urusan lingkungan
belum menjadi prioritas.Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang
positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang
mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang
Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi Daur
Ulang atau Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling
Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun
1997, Undang-undang Kemasan Daur Ulang atau “Containers and Packaging
Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen.
Rahasia Sukses Jepang
Dari beberapa hal tersebut, setidaknya terdapat tiga rahasia sukses
Jepang dalam penanganan sampah rumah tangga. Pertama, tingginya
prioritas masyarakat pada program daur ulang. Hampir semua orang Jepang
paham mengenai pentingnya pengelolaan sampah daur ulang. Untuk membangun kesadaran itu, kelompok masyarakat seperti
“chonaikai” melakukan aksi-aksi kampanye kepedulian lingkungan di
berbagai lapisan masyarakat. Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif
turun ke perumahan untuk memonitor pembuangan sampah, dan berdialog
dengan warga tentang cara penanganan sampah.
Kedua, munculnya tekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila kita
tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu menjadi kunci
efektivitas penanganan sampah di Jepang. Saya pernah melihat orang Jepang yang sedang mabuk di kereta sambil
memegang botol bir. Saya mengikuti saat ia keluar dari kereta. Dia
celingak celinguk mencari tempat sampah. Menariknya, dalam keadaan
mabuk, ia masih membuang sampah, bukan hanya di tempatnya, namun bisa
memilih tempat sampah daur ulang khusus botol dan kaleng. Dari kejadian itu saya berpikir bahwa kebiasaan membuang sampah,
selain juga karena dibangun rasa malu, juga telah masuk ke alam bawah
sadar mereka.
Ketiga, program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak dini.
Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara membuang sampah
sesuai dengan jenisnya. Hal tersebut membangun kultur buang sampah yang
mampu tertanam di alam bawah sadar. Membuang sampah sesuai jenis sudah
menjadi “habit”.
Awalnya dulu, resistensi sempat muncul dari beberapa kalangan
mengenai perubahan cara membuang sampah ini. Banyak warga, khususnya
orang-orang tua, yang memprotes cara baru penanganan sampah, karena
dianggap merepotkan. Namun dengan penjelasan dan informasi yang terus
menerus mengenai manfaat dari pembuangan sampah, resistensi itu
berkurang dengan sendirinya.
Tempat Sampah di salah satu Mall kota Tokyo / photo Junanto
Bisakah kita Meniru Jepang?
Melihat proses pembentukan “habit” pengolahan sampah di Jepang
tersebut, saya yakin kalau kita di Indonesia bisa meniru Jepang.
Kesadaran pada sampah dan lingkungan hidup di Jepang baru tumbuh dalam
beberapa puluh tahun terakhir. Artinya hal tersebut bukan terjadi by default pada diri masyarakat Jepang, namun dilakukan by design dengan membentuk habit atau kebiasaan melalu edukasi. Oleh karena itu, upaya membangun kesadaran masyarakat melalui
berbagai kampanye lingkungan hidup oleh komunitas-komunitas peduli
lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Sahabat Kompasianer dari
Jogjakarta, Mas Daniel Suharta dan kawan-kawan, perlu banyak dilakukan
di setiap kota dan tempat.
Apa yang dilakukan mas Daniel dengan membentuk berbagai program kampanye peduli lingkungan, persis seperti yang dilakukan oleh chonaikai di
Jepang, 30 tahun lalu. Meski saat itu pemerintah Jepang belum mendukung
dan bergerak, mereka tidak putus asa. Selama 20 tahun, komunitas
tersebut terus konsisten meraih simpati dan berkembang pesat hingga
akhirnya malah dapat memberi tekanan sosial pada pihak pemerintah. Langkah lainnya adalah dengan membuat program edukasi bagi setiap
elemen masyarakat. Berbagai brosur dan informasi dibuat untuk anak-anak
sekolah sehingga kebiasaan membuang sampah terbentuk sejak kecil. Di
sisi lain para orang tua juga harus memberi contoh. Hal ini sangat
penting, karena anak-anak meniru apa yang dilakukan orang tua.
Dengan berbagai hal tersebut, pada akhirnya nanti pemerintah mau tak
mau akan mendukung gerakan peduli lingkungan. Dan bila demikian halnya,
Undang-undang dibuat bukan untuk mengatur, namun hanya meng-amin-i saja
realita yang sudah terjadi di masyarakat. Tak heran, makin maju suatu negara, makin sedikit peraturannya. Di
Jepang, saya jarang sekali melihat tulisan “Buanglah Sampah Pada
Tempatnya” atau “Dilarang Buang Sampah”. Karena tanpa tulisan itu-pun,
masyarakat sudah membuang sampah di tempatnya.
Salam dari Tokyo.
oleh : Junanto Herdiawan editor :Zaida Chandra Praditya
ps. tulisan juga mengutip bahan dari berbagai sumber dan penelitian
0 komentar: