BNPB: Pulau Jawa Rentan Bencana pada Januari 2015
Diperkirakan ada sejumlah daerah yang yang paling rawan.
Presiden Joko Widodo mendatangi lokasi tanah longsor di Karangkobar, Banjarnegara, Minggu (14/12/2014). Jokowi meminta kepada petugas dan relawan untuk mengutamakan pencarian korban yang diduga masih tertimbun longsor. (Heru Sri Kumoro/Kompas)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksikan bulan Januari sebagai puncak bencana. Diperkirakan ada sejumlah daerah yang yang paling rawan, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Demikian dikatakan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannnya Minggu (21/12). Menurut Sutopo itu sesuai pola kejadian bencana di Indonesia tiap tahunnya.
"Sebab lebih dari 90 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan lahan. Bencana hidrometeorologi berkorelasi positif dengan pola curah hujan," kata Sutopo.
Sutopo menjelaskan alasannya kenapa Januari adalah puncak bencana, sebab sebagian besar wilayah Indonesia puncak hujan terjadi pada Januari.
Ia menambahkan selama Desember hingga Maret hujan akan tinggi. Sehingga pada bulan ini banyak banjir, longsor dan puting beliung. Di Indonesia rata-rata kejadian bencana 1.295 kejadian per tahunnya.
"Tiga daerah paling banyak bencana adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur karena memang penduduknya banyak di daerah ini," ujarnya.
Bencana hidrometeorologi, terang dia, tidak terjadi tiba-tiba. Tetapi akibat akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor, seperti sosial, ekonomi, degradasi lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, tata ruang, dan lainnya.
"Misal, banjir yang saat ini menggenangi daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan lainnya di Bandung Selatan. Banjir serupa pernah terjadi sejak tahun 1931 karena wilayah tersebut adalah Cekungan Bandung yang seperti mangkok di DAS Citarum," ujarnya.
Sutopo menambahkan banjir serupa persis terjadi pada tanggal 19 Februari 2014 di tempat tersebut. Hal yang sama juga terjadi di banjir Bojonegoro, Tuban, Gresik, Cilacap dan sebagainya yang saat ini banjir.
Sutopo menilai bertambahnya penduduk yang akhirnya tinggal di daerah rawan bencana merupakan konsekuensi dari lemahnya implementasi tata ruang dan penegakan hukum.
Kawasan industri dibangun di daerah-daerah rawan bencana. Sementara masyarakat dibiarkan tinggal di daerah rawan banjir dan longsor tanpa ada proteksi yang memadai.
"Banjir dan longsor sebenarnya adalah bencana yang dapat diminimumkan risikonya. Sebab kita sudah tahu kapan, dimana dan apa yang harus dilakukan. Kunci utama itu semua adalah mitigasi struktural dan nonstruktural komprehensif, penataan ruang dan penegakan hukum," imbuhnya.
Sumber: Tribun News
Presiden Joko Widodo mendatangi lokasi tanah longsor di Karangkobar, Banjarnegara, Minggu (14/12/2014). Jokowi meminta kepada petugas dan relawan untuk mengutamakan pencarian korban yang diduga masih tertimbun longsor. (Heru Sri Kumoro/Kompas)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksikan bulan Januari sebagai puncak bencana. Diperkirakan ada sejumlah daerah yang yang paling rawan, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Demikian dikatakan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannnya Minggu (21/12). Menurut Sutopo itu sesuai pola kejadian bencana di Indonesia tiap tahunnya.
"Sebab lebih dari 90 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan lahan. Bencana hidrometeorologi berkorelasi positif dengan pola curah hujan," kata Sutopo.
Sutopo menjelaskan alasannya kenapa Januari adalah puncak bencana, sebab sebagian besar wilayah Indonesia puncak hujan terjadi pada Januari.
Ia menambahkan selama Desember hingga Maret hujan akan tinggi. Sehingga pada bulan ini banyak banjir, longsor dan puting beliung. Di Indonesia rata-rata kejadian bencana 1.295 kejadian per tahunnya.
"Tiga daerah paling banyak bencana adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur karena memang penduduknya banyak di daerah ini," ujarnya.
Bencana hidrometeorologi, terang dia, tidak terjadi tiba-tiba. Tetapi akibat akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor, seperti sosial, ekonomi, degradasi lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, tata ruang, dan lainnya.
"Misal, banjir yang saat ini menggenangi daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan lainnya di Bandung Selatan. Banjir serupa pernah terjadi sejak tahun 1931 karena wilayah tersebut adalah Cekungan Bandung yang seperti mangkok di DAS Citarum," ujarnya.
Sutopo menambahkan banjir serupa persis terjadi pada tanggal 19 Februari 2014 di tempat tersebut. Hal yang sama juga terjadi di banjir Bojonegoro, Tuban, Gresik, Cilacap dan sebagainya yang saat ini banjir.
Sutopo menilai bertambahnya penduduk yang akhirnya tinggal di daerah rawan bencana merupakan konsekuensi dari lemahnya implementasi tata ruang dan penegakan hukum.
Kawasan industri dibangun di daerah-daerah rawan bencana. Sementara masyarakat dibiarkan tinggal di daerah rawan banjir dan longsor tanpa ada proteksi yang memadai.
"Banjir dan longsor sebenarnya adalah bencana yang dapat diminimumkan risikonya. Sebab kita sudah tahu kapan, dimana dan apa yang harus dilakukan. Kunci utama itu semua adalah mitigasi struktural dan nonstruktural komprehensif, penataan ruang dan penegakan hukum," imbuhnya.
Sumber: Tribun News
Editor:Zaida Chandra Praditya
0 komentar: