Perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama bagi orangutan.
Kepunahan orangutan karena habitatnya dihancurkan untuk perkebunan
sawit bukan lagi rahasia. Memang benar bahwa perkebunan kelapa sawit
merupakan ancaman utama bagi orang utan.
Selama ini orangutan
menghadapi berbagai kesulitan dalam bertahan hidup. Mulai dari
penebangan di habitatnya untuk komersialisasi seperti pembuatan kertas.
Michelle
Desilets, executive director di Orangutan Land Trust berpendapat bahwa
penebangan hutan untuk kelapa sawit merupakan ancaman terbesar bagi alam
liar di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini.
Namun muncul
inisiatif bagi perusahaan perkebunan sawit untuk tidak menanam sawit
pada lahan yang dibuka melalui proses deforestasi. Harapannya tindakan
itu dapat menyelamatkan satwa liar terutama orang utan.
Sebuah
kemajuan selama 11 bulan belakangan ini, bahwa lebih dari 12 perusahaan
besar, pedagang, dan konsumen minyak sawit berkomitmen. Mereka berjanji
hanya akan memproduksi, membeli, atau menjual minyak sawit dari hutan
yang bebas dari deforestasi.
Sehingga sebesar 60 persen
perdagangan global harus mengikuti kebijakan kelapa saawit yang ramah
lingkungan. Sementara menurut Rhett Butler, pendiri
Mongabay.com bahwa
perlu komitmen kuat bagi perusahaan kelapa sawit untuk tidak lagi
membuka lahan untuk perkebunannya—sebutlah nol deforestasi.
Sekitar
85 persen minyak sawit dunia berasal dari perkebunan di Indonesia dan
Malaysia. Menurut data dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO),
sejak tahun 1990 hingga 2010 seluas 8,7 hektare hutan di Indonesia,
Malaysia, dan Papua dikonversi untuk perkebunan sawit. Luasnya bahkan
dua kali dari wilayah New Jersey di Amerika Serikat.
Sebagian besar orangutan akan kelaparan dan mati ketika habitatnya
dibuka untuk perkebunan,” ujar Desilets. Akhirnya orangutan akan
merambah ke perkebunan yang baru ditanami kelapa sawit dan
menghancurkannya. Sehingga tak jarang orangutan dianggap sebagai hama
karena menghancurkan tanaman dan membuatnya diburu.
Menangkap dan
membunuh orangutan sudah dilarang di Indonesia dan Malaysia.
Kenyatannya perburuan terus terjadi. “Serangan terhadap orangutan
seringkali brutal,” ujar Desilets. Tim penyelamat sering menemukan
orangutan dibantang menggunakan parang, dipukuli hingga mati dengan kayu
maupun besi, bahkan dibakar hidup-hidup. Lebih parahnya lagi,
anak-anak orangutanpun diperdagangkan secara ilegal.
Saat ini
lebih dari 1.200 orangutan dirawat pada pusat-pusat penyelamatan dan
sebagian besar dari mereka merupakan korban dari konversi habitat untuk
pembukaan lahan kelapa sawit.
Kini di Kalimantan tersisa 45.000 orangutan saja, sementara di Sumatra lebih parah hanya 6.500 ekor.
Pembukaan
lahan untuk kelapa sawit di Kalimantan contohnya, semakin mempermudah
orang untuk memburu orangutan. Selain orangutan dianiaya, merekapun
menjadi komoditi untuk diperjualbelikan. Sehingga kepunahan sama sekali
tidak bisa dihindari.
Ilmuwan dari The Orangutan Land Trust
memperkirakan sekitar 3.000 orangutan hilang tiap tahunnya karena
konversi habitat dan perburuan. Kini di Kalimantan tersisa 45.000
orangutan saja, sementara di Sumatra lebih parah hanya 6.500 ekor.
Ditambah
dengan kebakaran hutan dan gambut yang menimbulkan karbon dioksida
membuat orangutan kesulitan bernapas kemudian mati. Sebuah studi tentang
emisi gas rumah kaca di Provinsi Riau antara tahun 2000 hingga 2012,
bahwa 5,2 juta ton karbon dioksida dihasilkan karena pembakaran lahan
gambut.
Komitmen
Perlu komitmen yang tak hanya kuat tapi juga spesifik, termasuk definisi hutan, waktu hingga verivikasi.
Sementara
ini sedang dirintis komitmen demi penyelamatan orangutan. “Kami optimis
tentnag transparansi, akuntanbilitas, dan penegakan hukum,” papar Rich
Zimmerman, executive director Orangutan Outreach. Komitmen juga perlu
diperluas. Bukan hanya menjamah perusahaan kelapa sawit tapi juga
industri makanan cepat saji.
Komitmen bebas deforestasi
merupakan langkah positif, dengan catatan para pelaku terus memegang
teguh janjinya. Harapan di masa datang agar lebih banyak perusahaan
bergabung untuk melakukan penyelamatan pada alam dan satwa liar, seperti
orangutan.
“Komitmen ini harus kuat,” tegas pendiri Mongabay,
Butler. Ia juga menambahkan agar LSM bertindak aktif jika mengetahui ada
perusahaan melanggar komitmen.
“Kami berharap hubungan antara kepala sawit dengan kepunahan orangutan dapat teratasi,” ujar Desilets.
(Laurel Neme)
0 komentar: